Loading Post...

You have reached the bottom. Let’s shuffle the article!

Post Not Found

Coffee Conversation with Adi Taroepratjeka

 In Coffee Conversation

Read in English

“Saya selalu mendeskripsikan kopi sebagai sebuah perjalanan. Kopi yang enak itu adalah kopi yang unik, kopi yang bisa bercerita.” – Adi Taroepratjeka

Adi Taroepratjeka, instruktur Q-Grader Arabika pertama diIndonesia, bukanlah sosok yang asing bagi penikmat kopi di Indonesia. Ia pernah membawakan berbagai kisah kopi melalui Coffee Story di Kompas TV dan masih aktif mengajar di 5758 Coffee Lab di Bandung. Namun di bincang-bincang kali ini, Adi tidak akan membicarakan citarasa espresso atau single origin, namun kopi tubruk dan 3-in-1. Mengapa? Karena di tengah-tengah perdebatan yang sengit mengenai jenis kopi apa yang pantas untuk diminum, ada sentimen yang seringkali terlupakan, yaitu kenikmatan kopi itu sendiri yang sakral dan amat personal.

Photo by Steffy Marcella

Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat di Indonesia seringkali mengikuti apa yang sedang terjadi di luar negeri. Inovasi di dunia kopi pun terbilang masih cukup jarang. Seringkali kita mendasarkan selera kita pada apa yang dianggap bagus dan enak di luar negeri, dan percaya bahwa itulah yang benar. Sehingga belakangan ini, seperti yang terlihat dari interior coffee shops, konsep, hingga alat seduh, banyak faktor dari luar negeri yang kita ambil dan terapkan di tanah sendiri.

Satu kasus yang sederhana adalah kopi instan. Adi berpendapat bahwa stigma yang dibuat masyarakat terhadap kopi instan yang dicampur jagung, dapat menjadi bumerang bagi jutaan petani di Indonesia. “Sebenarnya mencampur kopi dengan jagung adalah bagian dari budaya kita. Di daerah tertentu di negara kita bahkan mencampur kopi dengan bahan lain seperti dengan kacang hijau, kelapa dan lainnya. Namun karena terdapat persepsi yang menilai mencampur kopi dengan bahan tertentu seakan-akan suatu yang salah, maka degradasi budaya pun terjadi. Padahal sah-sah saja,” cerita Adi.

Sepanjang observasi Adi, pasar kopi jagung sangat besar dan bisnis kopi jagung membutuhkan banyak usaha lebih daripada memproduksi kopi biasa. Jagung yang dipakai untuk campuran adalah jagung impor karena Indonesia belum bisa memasok jumlah jagung yang cukup untuk dicampur dalam pembuatan kopi instan tersebut. Bahkan bibitnya pun bibit impor. Tanpa adanya bisnis kopi jagung ini, Adi merasa harmonisasi kehidupan di industri kopi akan terganggu. Dia membayangkan jika tidak ada lagi kopi jagung, berapa banyak petani kopi jagung yang kehilangan pekerjaan, begitu pula dengan para buruh pabrik kopi instan yang teramat banyak itu.

Lanjut Adi, “Lagipula sebenarnya kopi instan itu memberikan rasa yang stabil dan konsisten. Diseduh dengan cara apapun rasanya akan sama. Cocok untuk orang-orang yang memang menyukai rasa yang konsisten. Saat pulang ke rumah saya juga menikmati kopi instan dan bahkan saya memiliki hobi yang unik yaitu mengumpulkan kopi instan 3-in-1 dari berbagai negara lain dengan tujuan untuk mempelajari rasa kopi yang dimiliki negara-negara tersebut. Begitu pula saat memberikan training pada barista, saya sering meminta mereka untuk mencoba kopi-kopi 3-in-1 itu supaya mereka pun memahami bahwa rasa kopi memang sangat berbeda-beda.”

Layaknya penerjemah, tugas Q-grader adalah untuk menceritakan kualitas kopi. Termasuk, mengetahui kapan kami mesti mengesampingkan selera kami tentang kopi yang ada di depan kami.

Sayangnya, pembicaraan yang memanas tentang kopi tidak diikuti dengan pemahaman mengenai sejarah dan kebiasaan menyeduh dan meminum kopi yang beraneka ragam di Indonesia. Akibatnya, salah kaprah pun menjadi umum. Pada suatu periode pernah terdapat tren yang mengusung opini bahwa kopi itu harus pahit, tidak menggunakan gula. Lalu munculah ke permukaan tren baru yang mempromosikan kopi susu menggunakan susu kental manis, di mana sebenarnya cara menikmati kopi seperti ini sudah ada sejak dulu. Semisal di Aceh, terdapat banyak warung-warung kopi yang menggunakan susu kental manis. Begitu pula di beberapa area lain di Indonesia. Namun kemudian batasan-batasan yang diciptakan inilah yang seakan-akan membuat para penikmat yang menambahkan gula atau susu kental manis pada kopi terlihat “berdosa”. Sejatinya, selera itu adalah soal yang sangat pribadi. Akan tetapi masyarakat kerap kali belum bisa mengatakan mana yang dia suka dan mana yang tidak karena adanya tekanan sosial yang juga diperkuat oleh keberadaan media sosial saat ini.

“Saya merasa terlalu subyektif saat saya mengatakan satu rasa kopi di satu coffee shop tertentu itu tidak enak. Karena pada dasarnya saya juga tidak pernah rewel akan masalah taste notes. Saya tidak bisa bilang tidak enak, tapi jika ditanya dan dipaksa untuk menjawab bagaimana rasanya menurut saya, saya akan mengatakan rasa kopi itu bukan rasa kopi yang sesuai dengan selera saya, dengan bahasa yang sesederhana mungkin. Bukan tidak enak,” terangnya kemudian. Ketika saya berada di satu daerah dan saya butuh kafein namun sedang tidak ingin bertaruh apakah coffee shop di sekitaran itu sesuai dengan selera atau tidak, saya biasanya akan lebih memilih Starbucks, meski kini banyak yang sedikit memincingkan mata akan kopinya. Menurut saya Starbucks memiliki standar tersendiri sehingga saya tidak lagi perlu menebak-nebak apakah cocok dengan saya atau tidak.”

Adi berpendapat bahwa orang Indonesia kurang dibiasakan untuk berdiskusi, sehingga pandangannya mudah digiring oleh tren atau pendapat yang umum.

Sebagai salah satu peserta pertama dari Indonesia yang mendapatkan sertifikasi Q-grader, pelajaran paling berharga untuk Adi adalah mengenali dirinya sendiri sebagai peramu kopi dengan lebih dalam. “Layaknya penerjemah, tugas Q-grader adalah untuk menceritakan kualitas kopi. Termasuk, mengetahui kapan kami mesti mengesampingkan selera kami tentang kopi yang ada di depan kami. Hal lain yang paling penting adalah saya jadi memiliki tanggung jawab yang besar untuk tidak merasa sok jago karena pada dasarnya itulah yang mempengaruhi dasar pemikiran orang lain soal rasa.”

Sadar akan dalamnya dan kayanya dunia kopi, Adi mengakui bahwa, “kopi adalah sebuah perjalanan.” Lanjutnya, “Kopi yang enak itu adalah kopi yang unik, kopi yang bisa bercerita. Itu juga yang menjadi salah satu alasan saya bertahan di industri ini. Saya bisa belajar banyak dari orang-orang yang saya temui, dari yang memesan kopi, dari barista-barista yang melayani pesanan dan melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan tamu.”

Menurut Adi, adalah persepsi yang menyimpang ketika para barista berpikir bahwa mereka harus serba bisa, tidak hanya sekadar menyeduh kopi. Padahal proses menyeduh kopi adalah proses yang magis di mana seseorang dapat mengubah partikel padat menjadi cair. Saat mereka mulai ingin menguasi semua kemampuan mulai dari roasting, brewing hingga latte art, saat itulah fokus mereka akan berkurang. Pada akhirnya mereka tidak lagi fokus akan rasa yang diciptakan dari setiap proses penyeduhan tersebut.

“Bayangkan bahwa roasting itu seperti seorang seniman yang diberikan selembar kertas kosong dan sekumpulan alat lukis di mana pada akhirnya mereka akan menghasilkan sebuah karya. Apakah seorang anak kecil bisa melakukan hal yang sama? –Bisa. Tapi apakah hasilnya sama? –Tidak,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, sehubungan dalam menghasilkan rasa yang memiliki cerita, para barista seyogyanya “bermain-main” dan berlatih dengan berbagai alat untuk menggiatkan semangat berinovasi dalam menciptakan rasa yang unik.

Walaupun, kembali lagi kepada rasa dan selera, bahkan para Barista Championship sekalipun harus dapat mengontrol dirinya sendiri dalam membicarakan rasa; bahwa seberapun kayanya ilmu mereka tentang kopi, pada akhirnya, rasa itu jatuh ke lidah, kemudian ke hati, tempat di mana kopi meninggalkan kesan yang paling dalam.

Oleh Aulia Meidiska

Post-Earthquake, Women’s Group Rise Together with Coffee
A Moment in Time

Share and Enjoy !

0Shares


Start typing and press Enter to search