Loading Post...

You have reached the bottom. Let’s shuffle the article!

Post Not Found

Taksu: Menjiwai Seni dalam Kopi

 In Coffee Conversations

Kisah I Kadek Edi dari memahat kayu hingga mengolah kopi

I Kadek Edi. Ilustrasi oleh @komikkopi

Coffee-making tu juga ada taksu-nya (rohnya),” ujar I Kadek Edi, atau yang akrab disapa Bli Edi, Q-Grader, processor, dan roaster dari Karana Spesialis Kopi dan Seniman Coffee Studio, Bali. Karya kopinya yang paling terkenal, Kintamanis (Bali Natural), adalah salah satu biji kopi andalan di kompetisi kopi skala nasional, “sering, tuh, anak-anak bar atau roastery menggunakan formula saya dengan biji yang sama, semua sama, dan hasilnya berbeda.”

Mengeluarkan esensi rasa kopi adalah seni tersendiri. Dari pembibitan pertama oleh petani hingga swirling terakhir sang barista, semua langkah adalah seni dalam menciptakan kenikmatan yang seringkali di luar batas kata-kata. Teguk, dan masuklah kita ke ranah imajinasi sendiri-sendiri. Begitu juga ketika seorang pegiat kopi mengulik kreasinya.

Mengeluarkan esensi rasa kopi adalah seni tersendiri.

Bli Edi adalah seorang seniman. Besar di daerah Ubud, Bli Edi menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai pemahat, meneruskan tradisi keluarganya sebagai keluarga pemahat terkenal. “Kakek saya adalah seorang seniman multi-talenta. Dia memahat, melukis, bermain musik. Beliau juga sering bermain di puri semasa mudahnya dulu.

Keluarga kami adalah keluarga artis. Begitu sering kami dipanggil oleh orang-orang di wilayah untuk membantu membuat segala prakarya untuk upacara adat,” kisah Bli Edi.

Baca juga: The Rwa Bhineda of Bali Coffee Culture.

Patung karya Bli Edi.

Sebelum berkecimpung di dunia kopi, Bli Edi menghabiskan hari-harinya di rumah, sibuk memahat kayu. Semasa hidupnya, ia sering memahat dewa-dewi dan tokoh-tokoh spiritual Bali; patung-patung kayu khas Bali yang memiliki penggemar di seluruh dunia.

“Jika saya tidak ada di dunia kopi, pasti saya akan memahat kayu,” ujar Bli Edi, yang sudah memahat sedari kecil di bawah bimbingan kakeknya dan bapaknya yang juga adalah pemahat lawas.

Burung Merpati. Karya Bli Edi.

Ketika Bli Edi keluar dari dunia memahat dan memasuki dunia kopi spesialti pada tahun 2010, dunia kopi spesialti masih jauh dari sekarang. Kedai kopi yang menjadikan kopi Indonesia sebagai kopi unggulan mereka dapat dihitung dengan jari dan untuk kebanyakan orang, misi untuk mengedepankan kopi lokal adalah misi yang belum dapat dipahami.

Bagi masyarakat Ubud apalagi, “kopi adalah minuman warung, seribuan. Keluarga saya heran dan orangtua saya marah-marah, bagaimana mungkin kopi bisa menopang kehidupan,” ujar Bli Edi.

Meskipun pada saat itu dunia kopi spesialti masih terasa jauh dari realita, namun Bli Edi sudah terlanjur kepincut dengan dunia spesialti yang penuh dengan jiwa seni. Pemasukannya saat itu belum banyak dan pasar juga belum terbentuk matang. Untuk kopi manual brew yang mereka jual, menawarkan kopi lokal seringkali masih dipandang sebelah mata.

“Namun, pada saat itu saya percaya bahwa kopi akan menjadi komoditas terbesar di dunia setelah minyak. Itu alasan yang saya gunakan untuk meyakinkan orangtua saya,” cerita Bli Edi. Tentu saja, orangtuanya tak percaya.

Baca juga: Happening now: Coffee’s Fourth Wave

Bersama dengan Rodney Glick yang juga adalah seorang seniman, bekerja di Seniman Coffee Shop sebetulnya lebih seperti bermain; tempat bereksperimen, tempat coba-coba, sebuah studio seni.

Jika piano adalah perpanjangan tangan seorang pianis, mungkin mesin sangrai pun seyogyanya adalah bagian ‘tubuh’ pegiat kopi juga. Banyak menggunakan tangan, perasaan, dan imajinasi dalam memahat, bagi Bli Edi, dunia kopi spesialti pun tak jauh berbeda.

“Dulu, saya pernah di-sms sama Rodney. Malam-malam, jam 2 pagi. Ia dapat mimpi, untuk menciptakan sebuah blend yang adalah representasi semua level sangrai. Ia menyebutnya Sphere Ball. Waktu itu saya baru 2 tahun menyangrai. Namun saya langsung mengerti apa maksudnya. Langsung utak-atik dan blend ini bertahan hingga sekarang. Kami namai Trans X,” cerita Bli Edi.

Imajinasi inilah yang, bagi Bli Edi, semakin jarang terlihat sekarang ini.

Tiap orang, lahir dengan taksu-nya masing-masing. Begitu juga dengan menciptakan kopi. Bagi saya jangan sampai kita terlalu berpaku kepada teori sehingga kurang fleksibel dalam menyiasati masalah.

“Di Bali, kita punya istilah taksu—soul-nya. Tiap orang, lahir dengan taksu-nya masing-masing. Begitu juga dengan menciptakan kopi. Bagi saya jangan sampai kita terlalu berpaku kepada teori sehingga kurang fleksibel dalam menyiasati masalah. Kopi adalah produk alam yang pasti mengikuti kondisi alam yang berubah-ubah pula. Apa yang kita pelajari di kelas Q-Grader dengan studi kasus di Amerika Selatan, tidak bisa semuanya kita terapkan di Indonesia. Jadi tidak bisa kita terlalu berpatok kepada buku dan tidak tekun melakukan observasi sendiri.”

Bli Edi memberi contoh kopi Natural yang dianggap mesti langsung masuk mesin hulling atau paling lama dijemur selama tujuh hari. “Berdasarkan pengalaman saya di Bali, sebenarnya justru perlu dijemur hingga satu bulan karena cuaca di sini termasuk lembab. Jadi yang paling penting adalah menyesuaikan ilmu dengan kondisi alam tempat kita berada. Dan jangan lupa lakukan cupping terus,” ujarnya.

Cupping session dengan Roda Rasa Kopi Indonesia. Kredit foto: @senimancoffee

 

Kopi adalah produk alam yang pasti mengikuti kondisi alam yang berubah-ubah pula. Apa yang kita pelajari di kelas Q-Grader dengan studi kasus di Amerika Selatan, tidak bisa semuanya kita terapkan di Indonesia.

Di sinilah bagian yang mirip dengan memahat. Potongan-potongan kayu untuk memahat pada umumnya memiliki bentuk dan lengkungan alami yang menjadi inspirasi sebuah patung dan tugas pemahat adalah mencari cerita yang terselubung dalam kayu tersebut. Dari pendalaman terhadap masing-masing kayu, terciptalah patung yang seakan-akan sudah ditakdirkan untuk menjadi transformasi sang kayu.

“Sering patung saya ditiru. Tapi bisa juga saya meniru patung lain, nggak usah pakai foto. Begitu juga dengan kopi. Mudah saya membayangkan proses sangrai yang terjadi ketika mencicipi sebuah kopi. Bisa saya tebak—dengan tepat—apa yang si penyangrai lakukan dengan kopinya,” ujar Bli Edi.

Tapi Bapak saya benar juga, uang juga bisa jadi distraksi. Ketika kita diberi kesempatan untuk berseni, dan angka dan duit malah yang dibayang-bayangin duluan, seketika itu juga buyarlah roh seni kita.”

Mungkin karena terbiasa mengandalkan intuisi dan imajinasinya selama berpuluh-puluh tahun memahat, teknik mengolah dan menyangrai kopi yang seringkali dilakukan Bli Edi pun selalu penuh kejutan. Tapi hasilnya, bisa dinikmati banyak penggemar kopi di Indonesia maupun luar.

Bedanya dengan dunia memahat, karya kopi Bli Edi tidak mudah ditiru. Sudah menggeluti bidang ini hampir selama hampir 10 tahun, pengalaman sekian lama bukan sesuatu yang bisa direplikasi.

“Sekarang ini semua terlalu serba instan,” komentar Bli Edi, “Menjiwai proses itu sendiri semakin tidak dihargai lagi. Semua perlu jam terbang. Mengenali mesin sangrai secara intim adalah satu-satunya cara untuk menyangrai kopi dengan tepat. Dan ini perlu jam terbang, bukan instan.”

Lanjut Bli Edi, “Kalau melihat ke belakang, ada banyak yang bisa saya pelajari dari didikan keluarga saya. Dari anak-anak zaman sekarang, saya belajar untuk mengandalkan kemampuan saya sendiri untuk independen. Tapi Bapak saya benar juga, uang juga bisa jadi distraksi. Ketika kita diberi kesempatan untuk berseni, dan angka dan duit malah yang dibayang-bayangin duluan, seketika itu juga buyarlah roh seni kita.”

Dan itulah bagaimana menciptakan secangkir kopi, dari hulu hingga hilir, adalah suatu kegiatan seni.

Mendiskusikan Rasa Spices dalam Kopi
The Rise of Signature Beverage

Share and Enjoy !

0Shares


Leave a Comment

Start typing and press Enter to search